BANYUASIN, BERITAANDALAS.COM – Sebuah insiden kekerasan terjadi di kantor Bawaslu Banyuasin pada Selasa (6/8/2024) kemarin, dimana staf Bawaslu Banyuasin berinisial HS diduga menjadi korban penganiayaan oleh oknum komisioner Bawaslu Banyuasin berinisial RZ.
Peristiwa tersebut terjadi sekitar pukul 09:00 WIB di kantor Bawaslu Banyuasin yang terletak di Kelurahan Pangkalan Balai, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Dikutip dari Tribunepos.umbaran.com menyebutkan bahwa HS mengalami luka lebam dan lecet di bagian hidung akibat insiden tersebut.
Kasus ini telah dilaporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Banyuasin untuk penanganan lebih lanjut.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pihak yang dapat dikonfirmasi terkait peristiwa ini.
Bisa dibawa ke ranah DKPP?
Kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan oknum Komisioner Bawaslu dapat diajukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) jika berkaitan dengan pelanggaran etika dan kode etik penyelenggara pemilu.
DKPP berwenang menangani masalah-masalah terkait dengan kode etik penyelenggara pemilu, termasuk tindakan yang dianggap melanggar norma-norma etika yang berlaku bagi komisioner Bawaslu.
Dalam kasus ini, jika tindakan kekerasan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kode etik atau tata perilaku yang ditetapkan untuk penyelenggara Pemilu, maka DKPP dapat diimplikasikan.
Laporan ke DKPP biasanya dilakukan jika ada dugaan pelanggaran etika yang merusak kredibilitas dan integritas lembaga Pemilu.
Namun, untuk kasus kekerasan fisik, jalur hukum melalui kepolisian tetap menjadi langkah utama. DKPP akan fokus pada aspek pelanggaran etika dan kode perilaku, sedangkan proses hukum oleh kepolisian akan menangani aspek pidana dari kasus tersebut.
Keduanya dapat berjalan paralel, tergantung pada hasil investigasi dan temuan masing-masing lembaga.
Pelajaran bagi Komisioner Bawaslu lainnya
Insiden dugaan penganiayaan yang melibatkan oknum Komisioner Bawaslu Banyuasin harus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh komisioner Bawaslu di Sumatera Selatan maupun di Indonesia.
Kasus ini menyoroti bagi setiap komisioner untuk memiliki keterampilan dalam menangani konflik di internal secara profesional. Konflik yang tidak dikelola dengan baik dapat berkembang menjadi situasi yang merugikan semua pihak.
Komisioner juga harus mematuhi kode etik dan standar perilaku yang ditetapkan oleh lembaga. Penerapan etika dan kode perilaku dapat membantu mencegah tindakan yang tidak etis.
Dengan mengambil pelajaran dari insiden ini, diharapkan seluruh Komisioner Bawaslu dimanapun bertugas dapat bekerja lebih profesional, menjaga integritas, dan memelihara suasana kerja yang kondusif untuk melaksanakan tugas pengawasan pemilihan serentak 2024 dengan efektif. (*)